Senin, 02 Maret 2009

Masih tentang SANTEUT

Gugatan Pelajar Aceh

Paskatsunami medio 2004 lalu banyak kemajuan yang telah dicapai oleh Nanggroe Aceh Darussalam ini. Berbagai sektor secara perlahan mulai tertata kembali. Sehingga, Aceh seperti orang yang baru selesai mandi, lalu berhias agar tampak cantik. Salah satu sektor yang mengalami kemajuan pesat di Aceh adalah dunia penerbitan buku. Bahkan, sebelum tsunami dunia penerbitan buku sangat lesu di nanggroe yang menjujung syariat islam ini. Namun, kini itu bukan hal mustahil. Buktinya, lihatlah buku “santeut”.

Santeut, kata dalam bahasa Aceh ini kurang lebih berarti setara. Kata setara ini pula yang oleh pelajar Aceh dikupas lebih dalam. Sesuai kemampuan mereka tentunya. Buku yang diterbitkan oleh Aneuk Mulieng Publishing dengan dukungan oleh Give2Asia dan Asia Fondation September 2007 lalu, memang unik. Dimana pelajar mencoba menganalisis persoalan jender dari berbagai aspek kehidupan. Buku setebal 139 halaman ini serba lengkap. Dimana persoalan jender juga ditulis dalam bahasa cerita pendek, artikel dan puisi. Bahkan buku ini sebagian isinya juga didisain, seperti majalah dinding yang seiring menjadi tempat menulis bebas bagi para pelajar.

Mereka umumnya mempersoalkan kenapa wanita selalu didiskriminasikan dalam berbagai sektor. Banyak sektor yang dikupas. Dari ketidakadilan media layar lebar yang memposisikan hantu wanita lebih dominan dalam tayangan televisi sampai pada persoalan syariat islam di Aceh. Tidak dilupakan juga persoalan pacaran juga dimuat dalam buku ini. Sangat menarik. Persoalan pemisahan ruang kelas antara laki-laki dan wanita di berbagai SMA di Banda Aceh juga dikupas habis dalam artikel T.Oryza Keumala.

Tulisan ini mengupas persoalan peran polisi syariah islam yang belum maksimal dalam mensosialisasikan syariat islam keseluruh elemen masyarakat, termasuk keruang kelas tempat para pelajar menimba ilmu saban hari. WH juga dinilai belum memperlihatkan eksistensi dan kemampuan pemahaman keislamannya. Belum pernah para pelajar ini mendengar WH melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dalam ruang publik. Ini yang ditunggu-tunggu oleh penulis ini. Soal lain yang disinggung yaitu tentang pemisahan kelas antara kaum hawa dan adam itu. Dia bahkan menyitir bagaimana Walikota Banda Aceh, Mawardi Nurdin ketika melakukan rapat secara tertutup dengan Wakil Walikota Illiza Saaduddin, mengenakan hijabkah?. (Hal.86)

Dalam seluruh tulisan yang diolah secara apik dan renyah untuk dibaca ini, tak dapat ditemukan makna jender sebenarnya. Syukur, penerbit buku ini menyiasatinya dengan pengantar yang ditulis oleh Lies Marcoes-Natsir. Disinilah makna jender ditulis secara gamblang oleh antropolog Universitas Indonesia.

Secara keseluruhan buku yang ditulis oleh 16 orang pelajar putra dan putrid, yang bersekolah di berbagai sekolah menengah atas di Banda Aceh ini memang sangat menarik. Kemampuan menulis mereka rata-rata dapat diacungkan jempol. Meskipun tak terlepas peran editor yang membuat tulisan itu semakin hidup. Satu hal yang perlu diingat, para penulis yang masih belia dan pernah merasakan tsunami mulai berkarya. Menunjukkan aksinya kesidang pembaca.

Apapun ceritanya, calon-calon penulis Aceh kini memiliki calon-calon penulis muda. Potensi ini yang diharapkan akan mengembalikan kejayaan Aceh sebagai daerah yang terkenal dengan dunia menulis. Bukankah Hamzah Fansuri yang juga tokoh ulama dikenal sangat piawai dalam menulis.

Terlepas konten jender yang difahami pelajar Aceh ini, buku yang penuh dengan “gugatan” terhadap jender ini patut untuk di baca oleh seluruh pembaca di Aceh maupun di Indonesia. Gugatan dari generasi penerus bangsa ini patut untuk didengarkan. Toh, suatu hari mereka yang akan meneruskan negeri ini. Dan kini, mereka berharap syariat islam tidak hanya sebatas wacana dan diskriminasi terhadap perempuan saja. Mereka berharap syariat kaffah. Kaffah untuk seluruh masyarakat yang menghirup udara segar dari perut bumi Nanggroe Aceh Darussalam ini. Bukan hanya ditujukan untuk kaum hawa semata.

[Masriadi Sambo]

Judul Buku : Santeut; Kumpulan Khotbah Jender Pelajar Aceh

Penerbit : Aneuk Mulieng Publishing Banda Aceh

Tebal : 139 Halaman

Penulis : Mifta Sugesty dkk

Editor : Azhari dan Reza Idria

Cetakan : Pertama September 2007

SANTEUT


Resensi Buku: "SANTEUT, Kumpulan Khotbah Jender Pelajar Aceh"
Oleh : Djuneidi Saripurnawan

22-Okt-2007, 19:51:14 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia

oleh: Djuneidi Saripurnawan
Judul Buku : SANTEUT, Kumpulan Khotbah Jender Pelajar AcehEditor : Azhari dan Reza Idria
Penulis : Mifta Sugesty,dkk
Penerbit : Aneuk Mulieng
Publishing Tahun : September 2007
Tebal dan ukuran : 140 hlm, 15 x 21 cm

Masyarakat Aceh, hingga kini, terkenal dengan budaya lisannya, dan budaya tulis (literatur) masih didominasi kalangan elit. Bahasa Aceh secara lisan telah bertahan untuk perjuangan kemerdekaan masyarakat Aceh, menjadi semacam bahasa sandi yang tidak banyak dimengerti oleh penjajah Belanda dan ‘orang Jakarta'. Namun, sayang-disayang, semua itu kurang diimbangi dengan budaya tulis-menulis. Hingga kini, kita bisa menemukan rendahnya kemampuan baca-tulis-berhitung (Calistung) dan minat baca dari para pelajar dan mahasiswa di Aceh. Hanya ada satu-dua toko buku yang representatif, dan jarang sekali menemukan resensi buku pada surat khabar harian atau media lokal Aceh. Tentang Aceh lebih banyak ditulis oleh orang-orang luar (outsider).
Fenomena ini sedang digoncang oleh Episentrum dari Komunitas Tikar Pandan di Ulee Kareng, Banda Aceh. Setelah menggelar program ‘Sekolah Menulis Dokarim' dan menghasilkan buah karya buku-buku sastra pasca tsunami dan konflik, kini komunitas ini terus menggembleng anak-anak muda yang tertarik terhadap dunia tulis-menulis dengan ketajaman analisis sosial-budaya dan kreativitas, serta keberanian mengekspresikannya. Karya terbaru adalah buku "SANTEUT, Kumpulan Khotbah Jender Pelajar Aceh". Hasil dari pembelajaran tentang gender yang diikuti oleh 16 pelajar SLTA di Banda Aceh.

Membaca buku ini, Anda akan menemukan kegelisahan anak muda menghadapi fenomena sosial-budaya yang sedang berkembang seiring masuknya ide-ide baru yang dibawa oleh INGO/NGO (non-government organization), ketajaman analisis dan kritik sosial, meskipun masih terasa adanya kontradiksi di sana-sini (cerminan awal pemahaman baru dalam kegelisahan),dan keberanian mengungkapkannya dalam wujud tulisan.Kreativitas anak muda dalam buku ini nampak dari kemasan tulisan yang beragam: artikel opini, cerpen, puisi, model pamflet, dan ilustrasi kartun.

Mengkritisi keadaan yang sehari-hari ditemui para penulis di bumi Naggroe Aceh Darussalam ini dalam perspektif gender adalah upaya yang baru, apalagi oleh anak-anak muda yang gelisah menghadapinya. Mereka mempertanyakan ketimpangan dan ketidak-adilan yang tengah terjadi antara relasi kaum perempuan dan laki-laki.
T.Oryza Keumala mempertanyakan ‘Pemisahan Kelas' untuk lelaki dan perempuan di sekolahnya, karena pemberlakuan Syariat Islam. Ia tidak bisa menerima pemikiran dan kebijakan pejabat pendidikan yang akan menerapkan Syariat Islam secara kaffah (sempurna, menyeluruh) di Aceh dengan hanya mengurusi pemisahan kelas berdasarkan jenis kelamin, sementara ruang guru, kantin, laboratorium, dan perpustakaan tidak dipisahkan. Ini tidak konsisten, sementara masih banyak anak-anak di daerah yang membutuhkan sarana dan prasarana sekolah."Jangan setengah-setengah!" tulis Oryza. "Dengan alasan yang sama...perkantoran, labi-labi (angkot), pasar dan pantai harus disekat-sekat untuk mencegah berbaurnya perempuan dan laki-laki. Aku juga meminta kepada bapak Walikota Banda Aceh kita yang terhormat Mawardi Nurdin, untuk menggunakan hijab jika harus mengadakan rapat berduaan dengan wakil Walikota Nyonya Illiza dalam satu ruangan... Begitu juga kepada anggota dewan perwakilan rakyat yang terhormat." Dengan semangat membara, "Wahai para pemimpin, kami butuh teladan bukan perintah!"

"Saya heran, kenapa penerapan syariat Islam di Aceh hanya fokus pada hal-hal yang bersifat simbolis. Segala sesuatu yang tidak mengena dengan nilai-nilai dasar Islam yang sesungguhnya, yaitu sebagai agama yang membebaskan." Tulis Oryza,"Kita sering terlenakan dengan hal-hal yang kecil dan tidak terlalu esensial(hlm.90-91)."

Raisa Kamila menyatakan bahwa "...Sifat, tabiat, isi hati, pengetahuan dan kapasitas otak, tidak bisa diwakilkan hanya dengan berjilbab atau tidaknya seseorang. Justru masyarakat yang senang mengeneralisasilah yang harus dihilangkan." Dan Ia menyebut kecenderungan generalisasi itu sebagai penjahat kelamin, yaitu "S" alias ‘Stereotype' yang menyebabkan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Dan disadarinya pula bahwa penjahat kelamin itu ternyata berasal dan diproduksi oleh kita sendiri sehari-hari(!)

Novia Mardhatillah lebih jauh melihat tradisi meugang-laki-laki membeli daging untuk keluarga/istri-anak menjelang bulan puasa, Idul Fitri dan Idul Adha-telah membebani kaum laki-laki dari keluarga miskin. Habiskah derajat mereka bila tanpa meugang?
"...kita yang berpikiran bahwa adalah KODRAT bagi laki-laki menjadi kepala rumah tangga dan untuk memberi makan anak istrinya perlu ditinjau ulang. Sejatinya, keluarga(baca:rumah tangga) adalah wahana toleransi dan saling berbagi," tulis Novia. Sementara itu, Arryo menulis tentang laki-laki yang di-"takdir"-kan dalam Al-Qur'an sebagai pemimpin dalam rumah tangga, meskipun ia akhirnya berpendapat bahwa hal itu adalah kesepakatan relasi antara lelaki dan perempuan. Nadya Meivira sepakat dengan laki-laki sebagai pemimpin rumah tangga, tetapi emansipasi perempuan harus diupayakan supaya tidak hanya melulu pada urusan "4-SUR" (sumur-dapur-pupur-kasur).

Muhammad Haekal menulis tentang waria sebagai manusia yang tersisih dari sosialnya, dipadang sebagai ‘sampah' masyarakat. Lalu dimana rasa kemanusiaan dan keadilan itu? Inikah manusia yang semakin beradab?
Bias gender ternyata ditemukan pula oleh Mifta Sugesty dalam film-film horor produksi Indonesia. Perempuan sebagai korban kekerasan, begitu tak berdaya,sehingga pembalasan oleh perempuan (korban) harus melalui kematian dahulu dan menjelma menjadi hantu berupa kuntilanak, sundel bolong, ataupun suster ngesot.
Putri Arimbi mencoba mendobrak bahwa warna ‘pink tak lagi cantik', bukan lagi milik perempuan semata-mata. Dan ‘pacaran di Aceh', bagi Fachri, tidak lagi dimotori oleh kaum lelaki saja, tetapi juga oleh kaum perempuan secara aktif. Anak perempuan tidak perlu dibedakan untuk pemberlakuan jam malam lagi, menurut T.M.Syahrizal. ‘Pagar Sang Hawa' harus didobrak dengan kesadaran baru, kata Yuli Khairani. Perempuan juga mempunyai kesempatan yang sama untuk berkarya di ruang publik, kata Suci Senjana. Buktinya, tulis Dini Ratilan Angya, ada banyak guree beut (guru ngaji) atau Teungku Inong yang berperan penting di desa-desa. Akhirnya, semua bermuara pada satu perjuangan tentang ‘sama bermakna setara', tulis Nindy Silvie, yang dalam bahasa Aceh: SANTEUT antara kaum perempuan dan laki-laki. Dalam acara peluncuran buku ini pada Minggu malam, 21 Oktober 2007, kekhawatiran generasi orang tua juga nampak dari ungkapan seorang guru, tetapi dukungan untuk kebebasan berekspresi datang dari para tokoh LSM dan media lokal. Keberhasilan semua ini tidak terlepas dari dukungan banyak pihak, terutama Lies Marcoes Natsir, dan aktivis Tikar Pandan: Azhari, Fozan Santa, Reza, dan lain-lainnya.

Sebagai kumpulan ekspresi berpikir anak-anak muda Aceh, mungkin ini yang pertama sejak pasca tsunami. Saya tidak ingin berkomentar banyak, tapi empat jempol saya acungkan buat mereka, dan sebuah kata "keren". Maka bacalah! Baik untuk menambah pengetahuan, dan bagi kaum dewasa, dengarkanlah..! Sebentar lagi dunia ini milik mereka.

Djuneidi Saripurnawan, Research and Development Coordinator Plan International Aceh

AKU AGAM DENGAN 99 NAMA

CERMIN ACEH DALAM SAJAK
Peresensi : Adi Warsidi

Sajak kerap memberontak. Tapi Wira tidak sedang melakukan pemberontakan, dia hanya mengabadikan Aceh dalam puisi yang hampir tak ada ceria. Lara... cermin Aceh silam, dalam kemalangannya terhuyung nasib.

Judul Buku : Aku Agam Dengan 99 Nama (Kumpulan Puisi)
Penulis : Wiratmadinata
Editor
: Reza Indria
Penerbit : Aneuk Mulieng Publishing, Banda Aceh, 2007
Tebal : 158 halaman

Hanya satu-dua kisah ceria di sini, yang tergurat dalam cinta berurai kata, saat penyair masih muda. Selebihnya, siapapun akan tercengang dalam keseharian Aceh yang kelam. Ada tentang peluru tajam, ada potret kemerdekaan yang gersang dan ada tentang agam yang hitam, hanya karena namanya.

‘Aku Agam Dengan 99 Nama’, begitulah penulis menculik ‘Agam’ dalam ‘Membaca Aceh’ dan menempatkannya bersama ‘Aku’ menjadi judul buku, kumpulan puisi itu. Simak sedikit saja liriknya;

Namaku Agam
Asalku dari negeri bernama pada lalang air mata
.....
Namaku Inong
Asalku dari negeri bernama jazirah peluru
....
Akulah agam, akulah Inong
Negeri kami adalah berupa penjara tak berbentuk
Serupa bayang-bayang...

Bait-baitnya adalah cermin kegelisahan penyair terhadap Aceh zaman perang. Menuntut sebuah keadilan dengan pemberontakannya lewat syair yang mungkin tak bernyawa. Jelas, Wiratmadinata, sang penulis itu, melahirkan puisi melalui perenungan dan pemikiran. Bukan sembarang hasil coretan.

Lihat saja saat dia menggugat Indonesia dalam puisinya ‘Indonesia Apalagi yang Kau Minta’. Wira menulis dengan kekuatannya yang lemah,

... .
Apa lagi yang harus aku serahkan
Setelah segalanya
Air mata, darah dan kepedihan ...

Unik, saat Wira menulis semuanya dengan gamblang, tak ada perlambangan yang kentara sehingga orang akan meraba-raba maksudnya. Semuanya jelas dalam sajak-sajaknya, sehingga siapapun mudah paham, mudah tahu, bahwa pernah sisi Aceh merasakan kejam dan gelap kelam. Jauh sebelum damai dihantar dari Helsinki, Agustus 2005 silam.

Hampir semua puisi adalah perjalanan hidup sang penulis yang aktivis dan mantan juru tulis alias wartawan itu. Semua yang dirasa, ditulisnya dengan perasaan yang benderang. Tak ada yang lepas dari kesehariannya, kurang lebih mungkin seperti sebuah diary yang mengaliri urat nadi.

Buku kumpulan puisi ini memuat sebanyak 99 puisi yang lahir dalam rentang waktu tahun 1986 sampai 2006. Dari tahun ke tahun, sajaknya semakin kritis, sejalan dengan perenungannya yang semakin tajam.

Wira sang penulis adalah aktivis LSM yang saat ini menjabat sebagai Ketua Forum LSM Aceh. Dia pernah menjadi wartawan di Serambi Indonesia dan Majalah Gatra. Katanya, puisi yang dibukukan itu adalah sebagian hasil karyanya yang dikumpulkan oleh rekan-rekan selama 20 tahun jalan hidup Wira.

Bagi pecinta puisi, buku ini sepertinya wajib koleksi. Bagi pecinta bumi Aceh, bisa membacanya untuk memberikan pengetahuan lain, melihat Aceh dulu dalam sajak yang mendayu. Tampilan buku juga ’oke’ dan sangat menarik, hasil rancangan seorang khusus seorang desainer, Alfi Tatto.

Layak dibaca oleh semua kalangan, secara umum hampir tak ada kelemahan dalam kumpulan puisi ini. Hanya saja, hanya satu-dua kisah ceria, selebihnya melihat duka Aceh yang pernah lara. Mungkin kalau ada yang membaca keras-keras dengan alunan emosi, maka siap-siap untuk mengernyitkan dahi dan membuat bulu merinding.

Maklum saja... ini adalah cermin Aceh silam, dalam kemalangannya terhuyung nasib. ***

Penghargaan untuk kawanku, WIRA

Banda Aceh, 10 Juni 2007

MEUSYEN


Judul Buku : Meusyen
Penulis : Raysa kamila, dkk.
Editor : Azhari
Desain Sampul : Alfi Tatto
Penerbit : Aneuk Mulieng Publishing
Terbitan : November 2006
Tebal Buku : 327 halaman + cover


Kerinduan merupakan suatu hal lumrah bagi manusia normal. Rasa yang lama terpendam menginginkan sesuatu, entah itu harapan atau hanya sekedar keinginan untuk merasa, dapat disandingkan dengan kata rindu. Rindu bagi Aceh adalah sebuah harapan mendapatkan kedamian. Hal itu telah terealisasi sejak ditandatanganinya perjanjian damai antara pemerintah Repubublik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Selama konflik berkepanjangan melanda bumi Iskandar muda itu ada orang-orang yang mencoba menuangkan keadaan Aceh tersebut ke dalam bentuk tulisan, baik fiksi maupun nonfiksi. Banyak pendapat bertebaran yang ditulis oleh orang nonAceh menyikapi situasi Aceh semasa konflik hingga masa perdamaian. Ada yang mencoba menggambarkan kampung, ada pula yang mencoba melukiskan posisi rawan masyarakat sipil di tengah suara senjata.

Banyak dan beragam sekali pendapat-pendapat dituliskan orang ke dalam bentuk fiksi, karena dengan fiksi orang memang dapat berkata lantang dan melebihi tajamnya tulisan nonfiksi. Oleh karena, pemaparan dalam sebuah fiksi dapat multy tafsir, penulis akan berlindung jika suatu waktu ada kecaman datang meneror dirinya. Namun, jika ditulis dalam bentuk nonfiksi, fakta dan kenyataan memang harus yang sesungguhnya. Penulis tak dapat berkelit.

Nah, jika selama ini cerita tentang Aceh hanya ditulis oleh orang-orang di luar Aceh, bagaimana jika cerita tentang Aceh tersebut ditulis oleh asli anak Aceh yang mengalami keadaan konflik tersebut? Apa pendapat orang Aceh, terutama anak-anak usia sekolahan tentang Aceh yang konflik dan Aceh yang damai. Hal ini dapat kita lihat dalam 30 naskah cerpen yang terkumpul dalam sebuah buku berjudul “Meusyen”.

Kumpulan cerpen itu ditulis oleh 30 anak muda yang berusia 14 sampai 25 tahun. Sebagai anak yang masih berusia sangat muda, tentu gejolak rasa sangat beragam dalam hati mereka. Akan tetapi, bagaimana rasa yang ada di hati mereka terhadap sebuah perdamaian? Raysa Kamila misalnya, memendam sebuah keinginan untuk dapat duduk di pantai Lhok Nga—salah satu pantai di Banda Aceh.

Siswa kelas 1 SMA itu menggambarkan keinginan tokoh dalam ceritanya sangat sederhana, yaitu ingin duduk di pantai Lhok Nga seraya menikmati mata hari yang hampir tenggelam di kala sore. Setelah sekian lama si tokoh melarikan diri ke Jakarta, dia mendengar kabar, kampungnya sudah aman dari desingan peluru. Maka sekarang dia ingin melepas kerinduannya terhada pantai Lhok Nga. Damai bagi si tokoh adalah dapat menikmati cahaya mata hari tenggelam dari pantai Lhok Nga.

Damai boleh saja datang, tetapi kenangan di masa konflik tidak mudah lekang. Hal ini tergambar hampir pada semua cerita dalam buku itu. Sudut pandang yang beragam merupakan sebuah permainan dalam cerita-cerita tersebut yang membuat pembaca terkadang seperti dihimpit-lepaskan oleh parapenulis. Bayangkan saja, sedang asyik-asyiknya pembaca terlena dengan cerita seorang lelaki yang ditembak oleh tentara, lalu istri lelaki itu diperkosa, dan anaknya dibunuh. Disaat pembaca sedang asyik menanam kebencian terhadap tentara, tiba-tiba judul di depannya merupakan sebuah kisah yang mengambil sudut dari paratentara yang berjuang sebagai pembela negara. Hal ini dapat kita lihat pada cerita yang berjudul, “Aceh, Kembalikan Papaku.”

Cerita itu melukiskan seorang anak Jawa yang diboyong oleh keluarganya tinggal di Aceh. Ayah si tokoh yang berkerja sebagai tentara, selalu mengerjakan tugas yang diemban padanya. Suatu hari tentara itu ditugaskan menyisir sebuah kampung agar bersih dari pengacau. Sebagai pembela negara, tentu saja dia meras terhormat dapat membersihkan salah satu kampung dari pengacau. Sayangnya, tentara itu mati tertembak.

Sejak kematian ayahnya, anak Jawa yang masih lugu itu diajak ibunya kembali ke Jawa. Tentu saja dia akan bertanya, “Ayah mengapa tak ikut pulang?” Namun, jawaban apa yang dapat diberikan seorang ibu?

Pasca Perjanjian Damai

Setelah perjanjian damai, tentara dipulangkan, dan senjata awak GAM dipotong. Namun, apa yang terjadi dalam cerita “Sehelai Senjata” miliknya Evi Rosita? Dalam cerpen itu digambarkan senjata di tokoh bukanlah senapan seperti layaknya senjata parapejuang, tetapi hanya sehelai bendera. Apakah dia juga akan menyerahkan benderanya untuk dirobek-robek oleh Aceh Monitoring Mission (AMM) dengan mesin pemotong senjata?

Tema yang kocak tentunya dalam cerita itu.
Ada nilai dendam dalam yang disuguhkan dengan beragam corak dalam naskah-naskah Meusyen. Rasa pesimisme akan langgengnya perdamian di negeri Serambi Makkah pun tersirat dalam beberapa karya. Bahkan, ada yang masih menilai kehidupan masa perang lebih baik dari pada masa damai. Misalkan saja pada judul “Nikah”. Tokoh dalam cerita itu berpendapat bahwa di masa perang banyak yang menikah, lalu suaminya lari ke gunung, tetapi masih sempat mencuri-curi waktu untuk pulang menjenguk istri. Namun, semenjak perdamaian terjadi, sang suami yang tentara kembali ke kekampungnya, katakanlah ke Jakarta. Sang suami itu bertugas di Jakarta dan tidak pernah kembali ke Aceh. Bukankah menikah masa perang lebih baik dari pada menikah masa damai?

Sungguh memukau pendapat anak muda Aceh tentang sebuah perdamian. Membaca buku ini setengah-tengah dapat membuat pembaca memihak sebelah pihak. Tetapi, membaca keseluruhan judul dalam buku ini, maka sebuah kepiluan anak Aceh akan dirasakan. Meski beragam, semua temanya tetaplah meusyen.

Meusyen adalah kosa kata Aceh yang jika diIndonesiakan kurang lebih artinya rindu yang sangat mendalam. Rindu sebuah perdamian, rindu akan ayah pulang, rindu melihat mata hari terbenam, rindu melihat senyum ibu, rindu berkumpul dengan teman-teman, dan entah macam rindu apa lagi yang dapat kita lihat dalam buku yang diterbitkan Aneuk Mulieng Publishing itu.

Wajar saja, Azhari, seorang penulis cerpen Aceh yang menjadi editor buku itu berpendapat bahwa jika selama ini kita hanya mendengar pidato tentang perdamian Aceh, maka dalam buku ini, penulis berusaha memindai dirinya sehingga tidak terkesan seperti pidato, melainkan sebuah perasaan yang alami.

Bagi mereka yang ingin tahu persaan anak Aceh terhadap sebuah perdamaian, buku ini tentunya sangat layak dikonsumsi.

oleh
Herman RN, cerpenis, penulis lepas dan Pegiat kebudayaan.

Pengikut