Senin, 02 Maret 2009

AKU AGAM DENGAN 99 NAMA

CERMIN ACEH DALAM SAJAK
Peresensi : Adi Warsidi

Sajak kerap memberontak. Tapi Wira tidak sedang melakukan pemberontakan, dia hanya mengabadikan Aceh dalam puisi yang hampir tak ada ceria. Lara... cermin Aceh silam, dalam kemalangannya terhuyung nasib.

Judul Buku : Aku Agam Dengan 99 Nama (Kumpulan Puisi)
Penulis : Wiratmadinata
Editor
: Reza Indria
Penerbit : Aneuk Mulieng Publishing, Banda Aceh, 2007
Tebal : 158 halaman

Hanya satu-dua kisah ceria di sini, yang tergurat dalam cinta berurai kata, saat penyair masih muda. Selebihnya, siapapun akan tercengang dalam keseharian Aceh yang kelam. Ada tentang peluru tajam, ada potret kemerdekaan yang gersang dan ada tentang agam yang hitam, hanya karena namanya.

‘Aku Agam Dengan 99 Nama’, begitulah penulis menculik ‘Agam’ dalam ‘Membaca Aceh’ dan menempatkannya bersama ‘Aku’ menjadi judul buku, kumpulan puisi itu. Simak sedikit saja liriknya;

Namaku Agam
Asalku dari negeri bernama pada lalang air mata
.....
Namaku Inong
Asalku dari negeri bernama jazirah peluru
....
Akulah agam, akulah Inong
Negeri kami adalah berupa penjara tak berbentuk
Serupa bayang-bayang...

Bait-baitnya adalah cermin kegelisahan penyair terhadap Aceh zaman perang. Menuntut sebuah keadilan dengan pemberontakannya lewat syair yang mungkin tak bernyawa. Jelas, Wiratmadinata, sang penulis itu, melahirkan puisi melalui perenungan dan pemikiran. Bukan sembarang hasil coretan.

Lihat saja saat dia menggugat Indonesia dalam puisinya ‘Indonesia Apalagi yang Kau Minta’. Wira menulis dengan kekuatannya yang lemah,

... .
Apa lagi yang harus aku serahkan
Setelah segalanya
Air mata, darah dan kepedihan ...

Unik, saat Wira menulis semuanya dengan gamblang, tak ada perlambangan yang kentara sehingga orang akan meraba-raba maksudnya. Semuanya jelas dalam sajak-sajaknya, sehingga siapapun mudah paham, mudah tahu, bahwa pernah sisi Aceh merasakan kejam dan gelap kelam. Jauh sebelum damai dihantar dari Helsinki, Agustus 2005 silam.

Hampir semua puisi adalah perjalanan hidup sang penulis yang aktivis dan mantan juru tulis alias wartawan itu. Semua yang dirasa, ditulisnya dengan perasaan yang benderang. Tak ada yang lepas dari kesehariannya, kurang lebih mungkin seperti sebuah diary yang mengaliri urat nadi.

Buku kumpulan puisi ini memuat sebanyak 99 puisi yang lahir dalam rentang waktu tahun 1986 sampai 2006. Dari tahun ke tahun, sajaknya semakin kritis, sejalan dengan perenungannya yang semakin tajam.

Wira sang penulis adalah aktivis LSM yang saat ini menjabat sebagai Ketua Forum LSM Aceh. Dia pernah menjadi wartawan di Serambi Indonesia dan Majalah Gatra. Katanya, puisi yang dibukukan itu adalah sebagian hasil karyanya yang dikumpulkan oleh rekan-rekan selama 20 tahun jalan hidup Wira.

Bagi pecinta puisi, buku ini sepertinya wajib koleksi. Bagi pecinta bumi Aceh, bisa membacanya untuk memberikan pengetahuan lain, melihat Aceh dulu dalam sajak yang mendayu. Tampilan buku juga ’oke’ dan sangat menarik, hasil rancangan seorang khusus seorang desainer, Alfi Tatto.

Layak dibaca oleh semua kalangan, secara umum hampir tak ada kelemahan dalam kumpulan puisi ini. Hanya saja, hanya satu-dua kisah ceria, selebihnya melihat duka Aceh yang pernah lara. Mungkin kalau ada yang membaca keras-keras dengan alunan emosi, maka siap-siap untuk mengernyitkan dahi dan membuat bulu merinding.

Maklum saja... ini adalah cermin Aceh silam, dalam kemalangannya terhuyung nasib. ***

Penghargaan untuk kawanku, WIRA

Banda Aceh, 10 Juni 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut