Senin, 02 Maret 2009

SANTEUT


Resensi Buku: "SANTEUT, Kumpulan Khotbah Jender Pelajar Aceh"
Oleh : Djuneidi Saripurnawan

22-Okt-2007, 19:51:14 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia

oleh: Djuneidi Saripurnawan
Judul Buku : SANTEUT, Kumpulan Khotbah Jender Pelajar AcehEditor : Azhari dan Reza Idria
Penulis : Mifta Sugesty,dkk
Penerbit : Aneuk Mulieng
Publishing Tahun : September 2007
Tebal dan ukuran : 140 hlm, 15 x 21 cm

Masyarakat Aceh, hingga kini, terkenal dengan budaya lisannya, dan budaya tulis (literatur) masih didominasi kalangan elit. Bahasa Aceh secara lisan telah bertahan untuk perjuangan kemerdekaan masyarakat Aceh, menjadi semacam bahasa sandi yang tidak banyak dimengerti oleh penjajah Belanda dan ‘orang Jakarta'. Namun, sayang-disayang, semua itu kurang diimbangi dengan budaya tulis-menulis. Hingga kini, kita bisa menemukan rendahnya kemampuan baca-tulis-berhitung (Calistung) dan minat baca dari para pelajar dan mahasiswa di Aceh. Hanya ada satu-dua toko buku yang representatif, dan jarang sekali menemukan resensi buku pada surat khabar harian atau media lokal Aceh. Tentang Aceh lebih banyak ditulis oleh orang-orang luar (outsider).
Fenomena ini sedang digoncang oleh Episentrum dari Komunitas Tikar Pandan di Ulee Kareng, Banda Aceh. Setelah menggelar program ‘Sekolah Menulis Dokarim' dan menghasilkan buah karya buku-buku sastra pasca tsunami dan konflik, kini komunitas ini terus menggembleng anak-anak muda yang tertarik terhadap dunia tulis-menulis dengan ketajaman analisis sosial-budaya dan kreativitas, serta keberanian mengekspresikannya. Karya terbaru adalah buku "SANTEUT, Kumpulan Khotbah Jender Pelajar Aceh". Hasil dari pembelajaran tentang gender yang diikuti oleh 16 pelajar SLTA di Banda Aceh.

Membaca buku ini, Anda akan menemukan kegelisahan anak muda menghadapi fenomena sosial-budaya yang sedang berkembang seiring masuknya ide-ide baru yang dibawa oleh INGO/NGO (non-government organization), ketajaman analisis dan kritik sosial, meskipun masih terasa adanya kontradiksi di sana-sini (cerminan awal pemahaman baru dalam kegelisahan),dan keberanian mengungkapkannya dalam wujud tulisan.Kreativitas anak muda dalam buku ini nampak dari kemasan tulisan yang beragam: artikel opini, cerpen, puisi, model pamflet, dan ilustrasi kartun.

Mengkritisi keadaan yang sehari-hari ditemui para penulis di bumi Naggroe Aceh Darussalam ini dalam perspektif gender adalah upaya yang baru, apalagi oleh anak-anak muda yang gelisah menghadapinya. Mereka mempertanyakan ketimpangan dan ketidak-adilan yang tengah terjadi antara relasi kaum perempuan dan laki-laki.
T.Oryza Keumala mempertanyakan ‘Pemisahan Kelas' untuk lelaki dan perempuan di sekolahnya, karena pemberlakuan Syariat Islam. Ia tidak bisa menerima pemikiran dan kebijakan pejabat pendidikan yang akan menerapkan Syariat Islam secara kaffah (sempurna, menyeluruh) di Aceh dengan hanya mengurusi pemisahan kelas berdasarkan jenis kelamin, sementara ruang guru, kantin, laboratorium, dan perpustakaan tidak dipisahkan. Ini tidak konsisten, sementara masih banyak anak-anak di daerah yang membutuhkan sarana dan prasarana sekolah."Jangan setengah-setengah!" tulis Oryza. "Dengan alasan yang sama...perkantoran, labi-labi (angkot), pasar dan pantai harus disekat-sekat untuk mencegah berbaurnya perempuan dan laki-laki. Aku juga meminta kepada bapak Walikota Banda Aceh kita yang terhormat Mawardi Nurdin, untuk menggunakan hijab jika harus mengadakan rapat berduaan dengan wakil Walikota Nyonya Illiza dalam satu ruangan... Begitu juga kepada anggota dewan perwakilan rakyat yang terhormat." Dengan semangat membara, "Wahai para pemimpin, kami butuh teladan bukan perintah!"

"Saya heran, kenapa penerapan syariat Islam di Aceh hanya fokus pada hal-hal yang bersifat simbolis. Segala sesuatu yang tidak mengena dengan nilai-nilai dasar Islam yang sesungguhnya, yaitu sebagai agama yang membebaskan." Tulis Oryza,"Kita sering terlenakan dengan hal-hal yang kecil dan tidak terlalu esensial(hlm.90-91)."

Raisa Kamila menyatakan bahwa "...Sifat, tabiat, isi hati, pengetahuan dan kapasitas otak, tidak bisa diwakilkan hanya dengan berjilbab atau tidaknya seseorang. Justru masyarakat yang senang mengeneralisasilah yang harus dihilangkan." Dan Ia menyebut kecenderungan generalisasi itu sebagai penjahat kelamin, yaitu "S" alias ‘Stereotype' yang menyebabkan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Dan disadarinya pula bahwa penjahat kelamin itu ternyata berasal dan diproduksi oleh kita sendiri sehari-hari(!)

Novia Mardhatillah lebih jauh melihat tradisi meugang-laki-laki membeli daging untuk keluarga/istri-anak menjelang bulan puasa, Idul Fitri dan Idul Adha-telah membebani kaum laki-laki dari keluarga miskin. Habiskah derajat mereka bila tanpa meugang?
"...kita yang berpikiran bahwa adalah KODRAT bagi laki-laki menjadi kepala rumah tangga dan untuk memberi makan anak istrinya perlu ditinjau ulang. Sejatinya, keluarga(baca:rumah tangga) adalah wahana toleransi dan saling berbagi," tulis Novia. Sementara itu, Arryo menulis tentang laki-laki yang di-"takdir"-kan dalam Al-Qur'an sebagai pemimpin dalam rumah tangga, meskipun ia akhirnya berpendapat bahwa hal itu adalah kesepakatan relasi antara lelaki dan perempuan. Nadya Meivira sepakat dengan laki-laki sebagai pemimpin rumah tangga, tetapi emansipasi perempuan harus diupayakan supaya tidak hanya melulu pada urusan "4-SUR" (sumur-dapur-pupur-kasur).

Muhammad Haekal menulis tentang waria sebagai manusia yang tersisih dari sosialnya, dipadang sebagai ‘sampah' masyarakat. Lalu dimana rasa kemanusiaan dan keadilan itu? Inikah manusia yang semakin beradab?
Bias gender ternyata ditemukan pula oleh Mifta Sugesty dalam film-film horor produksi Indonesia. Perempuan sebagai korban kekerasan, begitu tak berdaya,sehingga pembalasan oleh perempuan (korban) harus melalui kematian dahulu dan menjelma menjadi hantu berupa kuntilanak, sundel bolong, ataupun suster ngesot.
Putri Arimbi mencoba mendobrak bahwa warna ‘pink tak lagi cantik', bukan lagi milik perempuan semata-mata. Dan ‘pacaran di Aceh', bagi Fachri, tidak lagi dimotori oleh kaum lelaki saja, tetapi juga oleh kaum perempuan secara aktif. Anak perempuan tidak perlu dibedakan untuk pemberlakuan jam malam lagi, menurut T.M.Syahrizal. ‘Pagar Sang Hawa' harus didobrak dengan kesadaran baru, kata Yuli Khairani. Perempuan juga mempunyai kesempatan yang sama untuk berkarya di ruang publik, kata Suci Senjana. Buktinya, tulis Dini Ratilan Angya, ada banyak guree beut (guru ngaji) atau Teungku Inong yang berperan penting di desa-desa. Akhirnya, semua bermuara pada satu perjuangan tentang ‘sama bermakna setara', tulis Nindy Silvie, yang dalam bahasa Aceh: SANTEUT antara kaum perempuan dan laki-laki. Dalam acara peluncuran buku ini pada Minggu malam, 21 Oktober 2007, kekhawatiran generasi orang tua juga nampak dari ungkapan seorang guru, tetapi dukungan untuk kebebasan berekspresi datang dari para tokoh LSM dan media lokal. Keberhasilan semua ini tidak terlepas dari dukungan banyak pihak, terutama Lies Marcoes Natsir, dan aktivis Tikar Pandan: Azhari, Fozan Santa, Reza, dan lain-lainnya.

Sebagai kumpulan ekspresi berpikir anak-anak muda Aceh, mungkin ini yang pertama sejak pasca tsunami. Saya tidak ingin berkomentar banyak, tapi empat jempol saya acungkan buat mereka, dan sebuah kata "keren". Maka bacalah! Baik untuk menambah pengetahuan, dan bagi kaum dewasa, dengarkanlah..! Sebentar lagi dunia ini milik mereka.

Djuneidi Saripurnawan, Research and Development Coordinator Plan International Aceh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut