Senin, 02 Maret 2009

MEUSYEN


Judul Buku : Meusyen
Penulis : Raysa kamila, dkk.
Editor : Azhari
Desain Sampul : Alfi Tatto
Penerbit : Aneuk Mulieng Publishing
Terbitan : November 2006
Tebal Buku : 327 halaman + cover


Kerinduan merupakan suatu hal lumrah bagi manusia normal. Rasa yang lama terpendam menginginkan sesuatu, entah itu harapan atau hanya sekedar keinginan untuk merasa, dapat disandingkan dengan kata rindu. Rindu bagi Aceh adalah sebuah harapan mendapatkan kedamian. Hal itu telah terealisasi sejak ditandatanganinya perjanjian damai antara pemerintah Repubublik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Selama konflik berkepanjangan melanda bumi Iskandar muda itu ada orang-orang yang mencoba menuangkan keadaan Aceh tersebut ke dalam bentuk tulisan, baik fiksi maupun nonfiksi. Banyak pendapat bertebaran yang ditulis oleh orang nonAceh menyikapi situasi Aceh semasa konflik hingga masa perdamaian. Ada yang mencoba menggambarkan kampung, ada pula yang mencoba melukiskan posisi rawan masyarakat sipil di tengah suara senjata.

Banyak dan beragam sekali pendapat-pendapat dituliskan orang ke dalam bentuk fiksi, karena dengan fiksi orang memang dapat berkata lantang dan melebihi tajamnya tulisan nonfiksi. Oleh karena, pemaparan dalam sebuah fiksi dapat multy tafsir, penulis akan berlindung jika suatu waktu ada kecaman datang meneror dirinya. Namun, jika ditulis dalam bentuk nonfiksi, fakta dan kenyataan memang harus yang sesungguhnya. Penulis tak dapat berkelit.

Nah, jika selama ini cerita tentang Aceh hanya ditulis oleh orang-orang di luar Aceh, bagaimana jika cerita tentang Aceh tersebut ditulis oleh asli anak Aceh yang mengalami keadaan konflik tersebut? Apa pendapat orang Aceh, terutama anak-anak usia sekolahan tentang Aceh yang konflik dan Aceh yang damai. Hal ini dapat kita lihat dalam 30 naskah cerpen yang terkumpul dalam sebuah buku berjudul “Meusyen”.

Kumpulan cerpen itu ditulis oleh 30 anak muda yang berusia 14 sampai 25 tahun. Sebagai anak yang masih berusia sangat muda, tentu gejolak rasa sangat beragam dalam hati mereka. Akan tetapi, bagaimana rasa yang ada di hati mereka terhadap sebuah perdamaian? Raysa Kamila misalnya, memendam sebuah keinginan untuk dapat duduk di pantai Lhok Nga—salah satu pantai di Banda Aceh.

Siswa kelas 1 SMA itu menggambarkan keinginan tokoh dalam ceritanya sangat sederhana, yaitu ingin duduk di pantai Lhok Nga seraya menikmati mata hari yang hampir tenggelam di kala sore. Setelah sekian lama si tokoh melarikan diri ke Jakarta, dia mendengar kabar, kampungnya sudah aman dari desingan peluru. Maka sekarang dia ingin melepas kerinduannya terhada pantai Lhok Nga. Damai bagi si tokoh adalah dapat menikmati cahaya mata hari tenggelam dari pantai Lhok Nga.

Damai boleh saja datang, tetapi kenangan di masa konflik tidak mudah lekang. Hal ini tergambar hampir pada semua cerita dalam buku itu. Sudut pandang yang beragam merupakan sebuah permainan dalam cerita-cerita tersebut yang membuat pembaca terkadang seperti dihimpit-lepaskan oleh parapenulis. Bayangkan saja, sedang asyik-asyiknya pembaca terlena dengan cerita seorang lelaki yang ditembak oleh tentara, lalu istri lelaki itu diperkosa, dan anaknya dibunuh. Disaat pembaca sedang asyik menanam kebencian terhadap tentara, tiba-tiba judul di depannya merupakan sebuah kisah yang mengambil sudut dari paratentara yang berjuang sebagai pembela negara. Hal ini dapat kita lihat pada cerita yang berjudul, “Aceh, Kembalikan Papaku.”

Cerita itu melukiskan seorang anak Jawa yang diboyong oleh keluarganya tinggal di Aceh. Ayah si tokoh yang berkerja sebagai tentara, selalu mengerjakan tugas yang diemban padanya. Suatu hari tentara itu ditugaskan menyisir sebuah kampung agar bersih dari pengacau. Sebagai pembela negara, tentu saja dia meras terhormat dapat membersihkan salah satu kampung dari pengacau. Sayangnya, tentara itu mati tertembak.

Sejak kematian ayahnya, anak Jawa yang masih lugu itu diajak ibunya kembali ke Jawa. Tentu saja dia akan bertanya, “Ayah mengapa tak ikut pulang?” Namun, jawaban apa yang dapat diberikan seorang ibu?

Pasca Perjanjian Damai

Setelah perjanjian damai, tentara dipulangkan, dan senjata awak GAM dipotong. Namun, apa yang terjadi dalam cerita “Sehelai Senjata” miliknya Evi Rosita? Dalam cerpen itu digambarkan senjata di tokoh bukanlah senapan seperti layaknya senjata parapejuang, tetapi hanya sehelai bendera. Apakah dia juga akan menyerahkan benderanya untuk dirobek-robek oleh Aceh Monitoring Mission (AMM) dengan mesin pemotong senjata?

Tema yang kocak tentunya dalam cerita itu.
Ada nilai dendam dalam yang disuguhkan dengan beragam corak dalam naskah-naskah Meusyen. Rasa pesimisme akan langgengnya perdamian di negeri Serambi Makkah pun tersirat dalam beberapa karya. Bahkan, ada yang masih menilai kehidupan masa perang lebih baik dari pada masa damai. Misalkan saja pada judul “Nikah”. Tokoh dalam cerita itu berpendapat bahwa di masa perang banyak yang menikah, lalu suaminya lari ke gunung, tetapi masih sempat mencuri-curi waktu untuk pulang menjenguk istri. Namun, semenjak perdamaian terjadi, sang suami yang tentara kembali ke kekampungnya, katakanlah ke Jakarta. Sang suami itu bertugas di Jakarta dan tidak pernah kembali ke Aceh. Bukankah menikah masa perang lebih baik dari pada menikah masa damai?

Sungguh memukau pendapat anak muda Aceh tentang sebuah perdamian. Membaca buku ini setengah-tengah dapat membuat pembaca memihak sebelah pihak. Tetapi, membaca keseluruhan judul dalam buku ini, maka sebuah kepiluan anak Aceh akan dirasakan. Meski beragam, semua temanya tetaplah meusyen.

Meusyen adalah kosa kata Aceh yang jika diIndonesiakan kurang lebih artinya rindu yang sangat mendalam. Rindu sebuah perdamian, rindu akan ayah pulang, rindu melihat mata hari terbenam, rindu melihat senyum ibu, rindu berkumpul dengan teman-teman, dan entah macam rindu apa lagi yang dapat kita lihat dalam buku yang diterbitkan Aneuk Mulieng Publishing itu.

Wajar saja, Azhari, seorang penulis cerpen Aceh yang menjadi editor buku itu berpendapat bahwa jika selama ini kita hanya mendengar pidato tentang perdamian Aceh, maka dalam buku ini, penulis berusaha memindai dirinya sehingga tidak terkesan seperti pidato, melainkan sebuah perasaan yang alami.

Bagi mereka yang ingin tahu persaan anak Aceh terhadap sebuah perdamaian, buku ini tentunya sangat layak dikonsumsi.

oleh
Herman RN, cerpenis, penulis lepas dan Pegiat kebudayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut